Enter your keyword

[:id]Berita dari HMRH : Save Rancaekek![:en]News from HMRH : Save Rancaekek![:]

[:id]Berita dari HMRH : Save Rancaekek![:en]News from HMRH : Save Rancaekek![:]

[:id]Berita dari HMRH : Save Rancaekek![:en]News from HMRH : Save Rancaekek![:]

[:id]

“INI CARA KAMI MEMINTA MAAF”

Oleh: Sekar Trisnaning (Staf Intrakampus HMRH)

C360_2014-11-10-19-39-19_orgRancaekek merupakan sebuah merupakan sebuah kecamatan dengan luas kurang lebih 4.329,50 hektar yang terletak di kabupaten Bandung, kurang lebih 160 kilometer dari Ibu Kota Indonesia, Jakarta atau sekitar 4-5 jam perjalanan darat dengan motor atau mobil. Daerah ini tidak banyak menarik perhatian kami, mahasiswa, karena memang tidak ada yang tampak begitu spesial. Setidaknya sebelum air sungai di daerah ini disulap oleh tangan profesional penggiat ekonomi. Yap, sejak sekitar tahun 1980an air sungai rancaekek berubah warna menjadi hitam pekat. Beberapa bulan awal warga sekitar tidak merasa keberatan dengan ulah nakal tiga perusahaan tekstil yang membuang limbah ke sungai-sungai di daerah itu yang tampaknya tidak diolah terlebih dahulu. Namun setelah beberapa tahun berlalu, warga mulai resah. Mengapa? Pencemaran sungai dengan limbah azo dyes oleh perusahaan tekstil tersebut tidak hanya mengurangi akses warga untuk menggunakan air sungai untuk kebutuhan rumah tangga, tapi parahnya limbah tersebut mulai mengganggu lahan pertanian dan sumur-sumur warga. Hasil produksi lahan pertanian warga menurun dari kurang lebih 7 ton per hektar menjadi hanya 1-2 ton per hektar. Secara formal (hukum), saat ini, kasus ini telah menginjak usia 20 tahun, kondisi sungai dan lahan pertanian warga tidak terselamatkan walaupun pemerintah telah turun tangan.

Kasus Rancaekek ini sesungguhnya telah sempat dibawa ke meja hijau. WALHI dan aktivis lingkungan lain yang geram melihat perusakan lingkungan ini memaksa pemerintah untuk menggerakkan hukum dan menegakkan keadilan bagi warga Rancaekek. Semua proses telah berjalan. Proses hukum dan sosial memang mengobati penderitaan warga Rancaekek yang terkena dampak dari perusakan ekosistem sungai Rancaekek (walaupun tidak sepenuhnya terobati), namun adakah yang mau mengobati sungai, lahan, padi-padi yang menderita selama puluhan tahun ini? Semua orang berpikir tentang menghukum oknum, menindak tegas pelaku, dan membayar ganti rugi kepada warga. Tapi tidak ada yang memikirkan bagaimana kita harus menyembuhkan sungai, lahan, tumbuhan, dan semua komponen ekosistem yang tercemar. Tidak ada yang memikirkan bagaimana membayar ganti rugi kepada mereka. Para petinggi pabrik berkoar-koar meminta maaf kepada warga, tapi siapa yang pernah meminta maaf pada rumput, belalang, ular sawah, katak, ikan, dan capung yang kehilangan rumah mereka? Manusia terkadang terlalu egois dengan menjadikan diri mereka sebagai pusat dari kehidupan di alam semesta. Padahal kita tahu bahwa kita tidak hidup sendiri di alam yang luas ini, komponen alam lain baik biotik maupun abiotik hidup berdampingan dengan kita. Kita ada karena mereka, maka dari itu perlulah kita untuk memikirkan kesejahteraan alam semesta, tidak hanya kesejahteraan manusia.

Kami, sebagai mahasiswa ITB (dan mungkin mahasiswa lainnya juga) memiliki cara tersendiri dalam memandang kasus Rancaekek ini. Urusan sosial dan hukum biarlah kami percayakan di tangan penguasa negeri, kami berdoa agar penguasa tetap kuasa menahan nafsu sehingga tetap berpegang pada amanah Pancasila dan Undang-Undang Dasar’45. Kami sebagai mahasiswa yang diberi amanah untuk berilmu dan menggunakan ilmu ikut terjun dalam masalah ini sebagai pembela ekosistem. Dengan ilmu dan ikhtiar, saudara kami, Syaripudin (Bioengineering ITB 2011), Sisca Dewi Ayudya (Bioengineering ITB 2010), Lisna Wahyuni (Agriculture Engineering 2012), dan Fadya Syifa Hani (Bioengineering ITB 2011)  mulai menulis surat permohonan maaf kami kepada ekosistem yang menderita di Rancaekek dalam sebuah karya yang mendapat pengakuan oleh civitas akademika lain dalam Bioprocess Technology Challenge di Universitas Indonesia. Karya tersebut berjudul, “Collaboration Techniques Using Microbes and Plant on Constructed Wetland System for Textile Wastewater Treatment in Rancaekek, Bandung, West Java”. Selama ini bioremediasi ekosistem perairan seperti sungai dan laut umum menggunakan mikroba, karena efektif dan ramah lingkungan. Namun dalam kasus ini saudara-saudara kami ini berpikir untuk mengombinasikan bioremediasi dengan mikroba dan fitoremediasi dengan tanaman. Kalau bisa kolaborasi, kenapa tidak? Mikroba yang digunakan dalam penelitian ini adalah Desulfovibrio vulgaris.

C360_2014-11-10-19-30-32_orgD. vulgaris merupakan bakteri yang cukup terkenal dalam mendegradasi senyawa sulfat yang merupakan bahan kimia dari hasil pengolahan bahan tekstil yang berbahaya apabila terdapat dalam jumlah banyak dalam suatu perairan. Sedangkan tanaman yang digunakan adalah Phragmites australis, tanaman ini dipilih karena terbukti dapat mendegradasi limbah tekstil azo orange colorhingga 60%. Selain itu tumbuhan ini juga merupakan tumbuhan yang secara alami terdapat di Indonesia sehingga relatif mudah diperoleh. Kombinasi ini diharapkan dapat mempercepat proses remediasi air sungai sehingga aman digunakan untuk irigasi maupun keperluan warga sehari-hari. Dengan pulihnya air sungai ini pula ekosistem sekitar akan mulai terobati dan pulih walaupun dalam kurun waktu yang tidak singkat. Namun semua itu tentu masih dalam bahasa tulisan, kami menyadari tidak mudah untuk mewujudkan niat baik kami ini. Memang susah tapi mungkin! Kami percaya itu, sehingga kami berteguh tidak akan menyerah untuk mewujudkan cita-cita kami ini, untuk benar-benar meminta maaf pada teman-teman kami di Rancaekek. Sesuatu yang telah dimulai harus ada penyelesaiannya, awal dan akhir tetap berdampingan, dan kami ingin akhir yang indah bagi kita semua. Saat ini ‘kami’ hanya segelintir mahasiswa. Tapi kami berharap, besok kata ‘kami’ ini akan mewakili seluruh mahasiswa Indonesia dan mungkin lusa ‘kami’ adalah seluruh rakyat Indonesia. Kami menyambut baik uluran tangan dari pihak manapun karena sampai kapanpun manusia tidak bisa tumbuh sendiri, begitu juga kami tidak bisa tumbuh sendiri. Kami membutuhkan bantuan dari banyak pihak, baik dari pemerintah, teman mahasiswa, bapak/ibu dosen, pemerhati lingkungan, warga sekitar, dan pihak-pihak lain. Nenek moyang telah mengajarkan kita bahwa, “Berat sama dipikul, ringan sama dijinijng”, pekerjaan akan lebih mudah dilakukan bersama-sama. Maka, marilah kita bersama-sama lakukan dan tularkan SAVE RANCAEKEK! Inilah cara kami meminta maaf.

Sumber : HMRH ITB[:en]

THIS IS OUR WAY TO APOLOGIZE

By: Sekar Trisnaning (HMRH Intracampus Staff)

Rancaekek is a district with the area of 4,329.50 hectare which located in Bandung regency, less than 160 kilometres from Jakarta, the capital city of Indonesia, about 4-5 hours trip by car or motorcycle. This district doesn’t attract our attention because there is nothing special about this place. At least before the professional economic activists transformed the river in this regency. Since 1980s, Rancaekek river turns into black. For the first few months, the locals are not opposed to three textile industries that dump the untreated industrial wastes. Few years ago, the locals begun to worry. The azo dyes wastewater doesn’t only pollute and limit the locals’ access for household needs, but also affect the farmlands and wells. Farmland production has decreased to 1-2 tons per hectare from 7 tons hectare. By Law, this case has occured for 20 years but on signifikan changes has occured to the river condition and locals’ farmlands even after the government intervened.

This case was once brought to the court. WALHI and other environment activists was furious seeing the environmental disruption and forced the government to enforce the law and justice for Rancaekek locals’ hence the conducted process. Even though the legal and social processes ease the pain of the locals (not completely), but would anybody treat river, lands, ricefield that has suffered for years? Everybody thought that punishing the irresponsible people, repressing perpetrators and compensating citizens are the best way for this case. But nobody thought how to treat the river, lands, plants, and all the ecosystem components that has been polluted. Nobody thought how to compensate the ecosystem. The factory officials apologized to the locals, but who would asked forgiveness to the grasses, grasshoppers, snakes, fishes, and dragonflies for destroying their home? Sometimes humans are to selfish, thinking that they are the center of the universe. Yet we know that in this vast universe, we are not alone, biotic and abiotic components live coexist with us. We exist because of them and that’s why we need to think about the welfare of the universe, not only humans’.

As college students, specifically as ITB students, we have our own view of this case. We believe the government would handle the legal and social affairs referring to Pancasila and Undang-undang Dasar’45 while occupying the mandate. With our knowledge and strong will, our colleagues Syaripudin (Bioengineering ITB 2011), Sisca Dewi Ayudya (Bioengineering ITB 2010), Lisna Wahyuni (Agriculture Engineering 2012), and Fadya Syifa Hani (Bioengineering ITB 2011) wrote letter of apology for the damaged ecosystem through research that recognised by other Academic Society through Bioprocess Technology Challenge at Universitas Indonesia. The research title is “Collaboration Techniques Using Microbes and Plant on Constructed Wetland System for Textile Wastewater Treatment in Rancaekek, Bandung, West Java”. Throughout the years, bioremediation water surface ecosystem such as river and sea using microbes and fitoremediation with plants. If collaboration of the two methods is possible, why not do it? Microbes that used in this research is Desulfovibrio vulgaris.

D. vulgarisis a well-known bacteria to degrade sulfate, chemical compounds from textile processing that will be harmful if accumulated in the water. The plant that chosen is Phragmites australis because it is proven to degrade 60% textile waste azo orange color. Other than that, this plant is relatively easy to found because it grows naturally in Indonesia. The combination could accelerate remediation of the river so the ecosystem could be cured even though not in the short period of time. We realize that it’s not easy to actualized this plan, it’s challenging but it’s not impossible! We believe and we will not give up to actualized this plan so we could apologize to our friends in Rancaekek. We must finish what we started, beginning and ending side to side, so a great ending is acquired. For now, we’re just college students, but tomorrow we could represent college students and citizens of Indonesia. We welcome every help that is available because humans could not grow alone hence we are. We need all the help, from the government, colleagues, lecturers, environment activists, locals, and all the parties. Just like the proverbs, a trouble shared is a trouble halved, a heavy load should be done together so it will be easier. Therefore, let’s do this together and spread the spirit of SAVE RANCAEKEK! This is our way to apologize.

 

Sumber : HMRH ITB[:]

No Comments

Post a Comment

Your email address will not be published.

id_IDIndonesian
X